top of page
  • Instagram
  • Linkedin

Entertainment Tax Increase

1*8xpXW6Py7t-ztlIO6jEhkA.webp

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1]Ditinjau dari pihak yang berwenang untuk melakukan pemungutan, pajak dibedakan menjadi dua, yakni pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat digunakan untuk belanja negara sedangkan pajak daerah digunakan untuk belanja daerah dan merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Adanya pajak daerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

​

Pajak Daerah mulanya diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU No. 28/2009”). Pajak daerah terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Adapun yang termasuk jenis pajak provinsi yakni a) Pajak Kendaraan Bermotor; b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d) Pajak Air Permukaan; dan e) Pajak Rokok. Sedangkan pajak kabupaten/kota yakni: a) Pajak Hotel; b) Pajak Restoran; c) Pajak Hiburan; d) Pajak Reklame; e) Pajak Penerangan Jalan; f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g) Pajak Parkir; h) Pajak Air Tanah; i) Pajak Sarang Burung Walet; j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan.[2]

​

Dalam upaya untuk mewujudkan kemandirian daerah untuk meningkatkan pendapatannya sehingga dapat mempercepat pembangunan daerah, pemerintah mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU No. 1/2022). Berlakunya undang-undang tersebut juga sekaligus mencabut UU No. 28/2009. Ketentuan terkait pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU No. 1/2022 diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2). Untuk pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas: a) PKB; b) BBNKB; c) PAB; d) PBBKB; e) PAP; f) Pajak Rokok; dan g) Opsen Pajak MBLB. Sedangkan pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas: a) PBB–P2; b) BPHTB; c) PBJT; d) Pajak Reklame; e) PAT; f) Pajak MBLB; g) Pajak Sarang Burung Walet; h) Opsen PKB; dan i) Opsen BBNKB.​​​

​

Pada dasarnya, kedua undang-undang tersebut mengatur hal yang sama, yakni pajak hiburan menjadi salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Pajak hiburan sendiri dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan sebuah hiburan. Pajak hiburan dapat meliputi, semua jenis pertunjukkan, tontonan, permainan, atau keramaian dalam bentuk apapun dan dapat dikenakan pungutan pajak.[3]Besaran pajak hiburan yang dikenakan bagi wajib pajak dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan oleh kondisi kabupaten/kota di Indonesia yang tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan yang diselengg

arakan. Untuk dapat diterapkan pada suatu daerah, maka pemerintah daerah setempat harus menerbitkan peraturan daerah tentang pajak hiburan yang akan menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan pengenaan pajak hiburan.[4]

​

Sedikit berbeda dengan UU No. 28/2009, pajak hiburan termasuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (“PBJT”) dalam UU No. 1/2022. Selain pajak hiburan, PBJT juga mencakup 4 (empat) jenis pajak daerah lainnya yang berbasis pada konsumsi yaitu pajak parkir, pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan.[5] Dalam pasal 58 ayat (2) UU No. 1/2022 disebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). Hal ini berbeda dari ketentuan sebelumnya yang tidak mengatur minimal pengenaan tarif pajak hiburan.[6]

​

Jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya, tarif pajak hiburan di Indonesia tergolong tinggi. Sebagai contoh, Negara Thailand menerapkan tarif pajak 5% (lima persen) untuk tempat hiburan yang mana hal tersebut merupakan penurunan apabila dibandingkan ketentuan sebelumnya yang menerapkan 10% (sepuluh persen) untuk pajak hiburan di Thailand. Kemudian, Malaysia menerapkan tarif 6% (enam persen) untuk pajak hiburan, Singapura 9% (sembilan persen) untuk pajak penjualan barang dan jasa, dan Filipina menerapkan pajak hiburan sebesar 18% (delapan belas persen).[7]

Implikasi penerapan ketentuan tersebut dirasakan secara signifikan oleh para pelaku usaha. Sebagai contoh, Inul Daratista, penyanyi sekaligus pemilik usaha karaoke di Indonesia menyatakan bahwa ia harus mengurangi jumlah pegawainya agar usahanya dapat tetap bertahan. Inul juga menyayangkan proses penetapan kebijakan oleh pemerintah tersebut tanpa didahului dengan proses diskusi untuk menampung aspirasi para pelaku usaha.[8]

​

Lebih lanjut, Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (“DPP GIPI”) mengajukan pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi (“MK”). DPP GIPI menilai bahwa proses penetapan tarif pajak tersebut tidak memiliki dasar perhitungan atau pertimbangan yang kuat. Disisi lain, besaran pajak tersebut terlalu memberatkan pelaku usaha dan berpotensi pada kehilangan konsumen hingga penutupan usaha dan hilangnya pekerjaan.[9] Lebih lanjut, uji materiil tersebut menggunakan lima pasal dalam UUD 1945 antara lain Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum yang adil, Pasal 28I ayat (2) tentang larangan untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif, Pasal 28H ayat (1) tentang pelayanan kesehatan, Pasal 28G ayat (2) tentang perlindungan harta di bawah kekuasaannya, dan Pasal 27 ayat (2) tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Argumentasi utama yang mendasari gugatan MK tersebut adalah adanya diskriminasi jenis usaha yang terdampak aturan pajak hiburan tersebut serta tidak adanya rujukan naskah akademis untuk penetapan pajak tersebut.[10]

Beberapa daerah di Indonesia telah menerbitkan peraturan turunan dari UU No. 1/2022 tersebut. Sebagai contoh, DKI Jakarta yang telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan juga Probolinggo yang telah menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hingga saat ini, belum terdapat keputusan lebih lanjut secara resmi dari pemerintah pusat yang menyebabkan pemerintah daerah sebagai pemilik kewenangan dapat melakukan penundaan kebijakan ini. Walau demikian, menanggapi peristiwa tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa pemerintah akan mengevaluasi kebijakan tersebut dengan memperhatikan prinsip penetapan pemungutan pajak yakni prinsip keadilan atau keseimbangan (equity), prinsip kepastian hukum (certainty), prinsip kecocokan atau kelayakan (convenience), prinsip pajak secara ekonomi (economy), dan prinsip efisiensi (efficiency).

 

[1] Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, LN No. 85 tahun 2007, TLN No. 4740, Ps. 1.

[2] Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, LN No. 130 tahun 2009, TLN No. 5049, Ps. 2.

[3] Ibid., Ps. 1,.

[4] Halomoan Sihombing, Bonifasius H. Tambunan, “Pengaruh Penerimaan Pajak Hiburan dan Pajak Reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah”, Journal of Economics and Business Vol. 1 No. 2, Universitas HKBP Nommensen 2 April 2020, hlm. 69.

[5] Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, LN No. 4 Tahun 2022, TLN No. 6757, Ps. 50.

[6] UU No. 28/2009, Ps. 45.

[7] Adi Ahdiat, “Tarif Pajak Hiburan Indonesia Jauh Lampaui Negara Tetangga”, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/15/tarif-pajak-hiburan-indonesia-jauh-lampaui-negara-tetangga, diakses pada 8 Februari 2024.

[8] Wayan Dinanto, “Inul Daratista Minta Pemerintah dan Pengusaha Diskusi Pajak Hiburan Naik: Jangan Ujug-Ujug Keluar Aturan”, https://www.liputan6.com/showbiz/read/5503493/inul-daratista-minta-pemerintah-dan-pengusaha-diskusi-pajak-hiburan-naik-jangan-ujug-ujug-keluar-aturan?page=3, diakses pada 8 Februari 2024.

[9] Dwi Rachmawati, “GIPI Ajukan Judicial Review Pajak Hiburan ke MK”, https://ekonomi.bisnis.com/read/20240207/12/1739165/gipi-ajukan-judicial-review-pajak-hiburan-ke-mk, diakses pada 8 Februari 2024.

[10] Arrijal Rachman, “Gabungan industri Pariwisata Resmi Gugat Pajak Hiburan Minimal 40%”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240207165705-4-512690/gabungan-industri-pariwisata-resmi-gugat-pajak-hiburan-minimal-40, diakses pada 8 Februari 2024.

​

​

​

Contact us

The Indonesian Institute for Public Finance and Taxation Law Studies

UI Works Coworking Space University of Indonesia, Crystal of Knowledge Building, Mezzanine Floor, UI Campus, Pondok Cina, Beji

Depok, West Java 16424

© 2024 by LKHKP.

bottom of page