top of page
  • Instagram
  • Linkedin

Status Hukum Aset INA: 100% Milik dan Tanggung Jawab INA

1*95ZddwDRmWgeitX2g70gww.webp

Beberapa tahun belakangan ini presiden era Joko Widodo gencar sekali menggaungkan investasi pada proyek-proyek strategis nasional (PSN). Dalam kaitannya dengan perekonomian, investasi merupakan aspek penting dalam penunjang pembangunan negara. Pembangunan pada awalnya diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi, sehingga persepsi ini melahirkan pemahaman akan perlunya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar berhasil mendongkrak pembangunan.[1] Saat ini pemerintah dalam mewujudkan investasi pada tiap PSN yang ada dengan membentuk suatu instrumen yang dinamakan Sovereign Wealth Funds (SWF). Pada dasarnya SWF adalah instrumen investasi milik negara yang bertugas untuk mengelola simpanan nasional, surplus keuangan, atau simpanan valuta asing (valas) yang dimiliki suatu negara secara berlebih dengan menginvestasikannya ke dalam saham, surat utang milik perusahaan global, maupun pada instrumen finansial lainnya.[2]

​

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020) menuangkan amanat pembuatan SWF dengan membentuk suatu Lembaga tersendiri yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dengan kewenangan khusus (sui generis) untuk mengelola investasi pemerintah pusat.[3]Lembaga Pengelola Investasi dibentuk dengan harapan agar dapat meningkatkan dan memaksimalkan nilai kekayaan dalam periode yang panjang untuk mendorong pembangunan secara berkelanjutan.[4] Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (PP No. 74/2020) dan melalui PP tersebut Lembaga Pengelola Investasi diberi nama Indonesia Investment Authority (INA) yang akan mengelola dana SWF Indonesia. Pendirian INA oleh Pemerintah diharapkan dapat menopang perekonomian nasional dan mempercepat pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.[5]

​

Sejak berdiri hingga kuartal I 2023, INA bersama mitra investornya telah menempatkan total investasi Rp 33 triliun atau sekitar USD 2 miliar di berbagai sektor usaha. Sektor usaha yang menjadi prioritas INA ada empat, yakni infrastruktur dan logistik, green energy, digital (infrastructure &commerce), dan layanan kesehatan (healthcare).[6] Melihat dari daya investasi yang cukup besar tersebut timbul suatu pertanyaan darimanakah aset INA berasal, mengingat dalam konsep investasi, asset diperlukan sebagai collateral atau jaminan dalam keberlangsungan investasi. UU No. 11/2020 mengatur bahwa aset-aset yang dimiliki oleh INA antara lain yaitu penyertaan modal negara, perpindahan tangan aset negara atau aset BUMN, hibah, dan/atau sumber lain yang sah.[7] Kemudian, penyertaan modal yang dilakukan oleh negara dan sumber lainnya yang sah sebagaimana kedua aset tersebut merupakan sumber modal awal INA dalam pendiriannya.[8]Penyertaan modal negara yang disetorkan menjadi modal INA terdiri dari:[9]

a. dana tunai;

b. barang milik negara;

c. piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas; dan/atau

d. saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas.

​

Selanjutnya, sumber lain yang menjadi modal INA berasal dari kapitalisasi cadangan, akumulasi laba ditahan, keuntungan revaluasi aset.[10] Adapun Pemerintah menetapkan modal awal INA Rp75.000.000.000.000,00 (tujuh puluh lima triliun rupiah) yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap sampai dengan tahun 2021 sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 ayat (3) PP No. 74/2020.[11]

​

Aset-aset yang dimiliki oleh INA sangat erat berkaitan dengan status hukum kepemilikan aset atau uang tersebut. Status hukum uang tersebut memiliki kaitannya dengan subjek hukum yakni badan hukum yang akan berimplikasi secara hukum kepada pengelolaan dan pertanggungjawaban uang tersebut.[12] INA sebagai badan hukum menerima modal melalui penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan ini berarti kekayaan negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum, serta perseroan terbatas lainnya.[13] Pemisahan ini dilakukan untuk membuat pengelolaan dan pembinaannya tidak lagi tunduk pada sistem pengelolaan APBN melainkan tunduk pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.[14] Secara implisit ini mengindikasikan bahwa status hukum penyertaan modal yang dilakukan negara sudah beralih menjadi kekayaan badan hukum yang menerima penyetoran tersebut untuk dijadikan modal. Namun, penentuan status hukum uang ini menimbulkan kesulitan dan problematika tersendiri akibat dari luasnya ruang lingkup keuangan negara yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) yang salah satunya mengkategorikan kekayaan negara yang dipisahkan.[15] Ketentuan ini menciptakan menciptakan paradoks keuangan negara sehingga menimbulkan kesulitan hukum serta kekeliruan pengaturan sektor keuangan.[16]

​

Padahal, apabila kita melihat kepada konteks dari keuangan negara itu sendiri ialah ditentukan menjadi milik atau kepunyaan negara dan disediakan oleh negara untuk dipergunakan dalam rangka kepentingan umum yaitu pelayanan fungsi pemerintahan negara, selain daripada itu tidak dapat dikategorikan kedalam keuangan negara.[17] Selain itu juga, Arifin Soeria Atmadja menjelaskan bahwa pemisahan kekayaan negara dalam artian kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna dan konsekuensi yaitu Pemerintah menyisihkan kekayaannya untuk dijadikan modal pembentukan badan hukum dalam hal ini perusahaan umum, perseroan, atau sejenisnya dan untuk meningkatkan serta memperkuat struktur permodalan badan hukum tersebut dalam menjalankan kegiatannya. Hal ini mengakibatkan putusnya hubungan keuangan yang disetorkan kepada badan hukum tersebut sebagai keuangan negara sehingga status hukum penyertaan modalnya menjadi keuangan badan hukum tersebut karena terjadinya tranformasi hukum.[18] Pemahaman inilah yang kemudian dikenal sebagai teori status hukum keuangan. Mengacu pada dasar teori tersebut penyertaan modal yang dilakukan negara kepada badan hukum sudah tidak menjadi keuangan negara melainkan menjadi keuangan badan hukum tersebut.[19]

​

Maka dari itu, apabila Negara melakukan penyertaan modal kepada INA sebesar Rp75.000.000.000.000,00 (tujuh puluh lima triliun rupiah) dan telah menyetorkan dananya sebesar tunai Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) sebagai modal awal INA, sehingga pada saat itulah modal tersebut bertranformasi menjadi kekayaan INA dan bukan lagi kekayaaan negara. Penyertaan modal ini berbentuk kepemilikan INA sebagai badan hukum dan pencatatan penyertaan modal di laporan keuangan pemerintah pusat.[20] Pada saat itu pula, imunitas pada negara hilang dan terputus pula hubungan kuasa hukum publiknya dengan keuangan yang telah berubah menjadi kepemilikan INA sebagai badan hukum yang dicatat pada laporan keuangan pemerintah pusat. Kemudian daripada itu, status hukum penyertaan modal negara tersebut juga beralih kepemilikan dan penguasaannya berada dalam kendali INA dan bukan lagi kendali negara. Hal ini disebabkan terjadinya transformasi status hukum keuangan dari keuangan publik menjadi keuangan privat.[21] Demikian pula, dalam pengelolaan keuangan INA sebagai lembaga pengelola SWF mendapatkan laba dan membayar pajak, uang tersebut disetorkan ke dalam kas negara maka terjadi transformasi dari uang privat menjadi uang dan dengan sendirinya tunduk pada regulasi keuangan negara.[22]

​

Berkaitan dengan hal tersebut, INA sebagai badan hukum yang didirikan oleh Pemerintah untuk menjalankan pengelolaan keuangan investasi Pemerintah tentu memiliki hak dan kewajibannya tersendiri terlepas dari subjek pendirinya.[23] Salah satu bentuk hak dan kewajiban adalah mengenai keuangan yang mana selayaknya prinsip badan hukum yang memiliki kekayaan yang terpisah dari pendirinya.[24] Hal tersebut mengindikasikan bahwa status kepemilikan uang yang berada pada INA merupakan milik INA sebagai badan hukum. Pernyataan ini dipertegas dengan Pasal 157 ayat (2) UU No. 11/2020 yang berbunyi, aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindahtangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga.[25]

​

Kemudian, ketentuan tersebut kembali dipertegas pada Pasal 37 ayat (2) PP No. 74/2020 yang menyatakan bahwa aset INA merupakan milik dan tanggung jawab INA.[26] Kententuan — ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa INA memiliki pemisahan harta antara Pemerintah selaku subjek yang mendirikan INA. Pemisahan harta ini juga memperlihatkan bahwa segala aset yang diterima oleh INA merupakan milik dan tanggung jawab INA sebagai badan hukum.

​

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa status hukum keuangan pada INA merupakan sepenuhnya sepenuhnya milik dan tanggung jawab INA. Hal ini didasarkan oleh teori transformasi status hukum keuangan dan pemisahaan harta badan hukum. Pemisahan keuangan ini bertujuan untuk menentukan perbedaan kedudukan Negara sebagai badan hukum publik yang patuh pada kuasa hukum publik dan Negara sebagai badan hukum privat yang patuh pada kuasa hukum privat. Melalui perbedaan ini merupakan konsep hukum modern yang melakukan pembedaan antara imunitas publik dan imunitas privat sebagaimana untuk menjelaskan batasan kekayaan atau keuangan yang dipunyai setiap badan hukum.[27]

​

[1] Muhammad Hasan dan Muhamad Azis, Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan Manusia dalam Perspektif Ekonomi Lokal, (s.l.: CV. Nur Lina Bekerjasama dengan Pustaka Taman Ilmu, 2018), hlm. 11.

[2] Dilip K. Das, “Sovereign-Wealth Funds: the institutional dimension,” International Review of Economics Vol. 56, (2009), hlm. 86.

[3] Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja, UU â„–11 Tahun 2020, LN â„–245 Tahun 2020, TLN â„–6573, Ps.154 ayat (3) huruf b.

[4] Ibid., Ps. 165 ayat (2).

[5] Presidenri.go.id, “SWF Indonesia Beri Solusi Pembiayaan Pembangunan dan Tingkatkan Investasi,”https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/swf-indonesia-beri-solusi-pembiayaan-pembangunan-dan-tingkatkan-investasi/, diakses 20 Desember 2023.

[6] Kumparan.com, “Incar Layanan Kesehatan and Pelabuhan Proyeksi Investasi Ina di 2023,” https://kumparan.com/kumparanbisnis/incar-layanan-kesehatan-and-pelabuhan-proyeksi-investasi-ina-di-2023-rp-20-t-20zEvQxUXv0/full, diakses pada 20 Desember 2023

[7] Indonesia, Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Ps.160 ayat (1).

[8] Ibid., Ps. 158 (1).

[9] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Pengelola Investasi, PP â„–74 Tahun 2020, LN â„–286 Tahun 2020, TLN â„–6595, Ps.3 ayat (2).

[10] Ibid., Penjelasan Ps.3 ayat (1) huruf b.

[11] Pasal 3 ayat (3) PP â„–74/2020 berbunyi:

Modal INA ditetapkan sebesar Rp75.000.000.000.000,00 (tujuh puluh lima triliun rupiah) dengan rincian sebagai berikut:

1. Penyetoran modal awal INA berupa dana tunai paling sedikit sebesar Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah); dan

2. Pemenuhan modal INA setelah penyetoran modal awal sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan secara bertahap sampai dengan tahun 2021.

[12] Arifin P. Soeria Atmadja, “Teori Dasar Hukum Keuangan Publik dan Konsepsi Badan Hukum,” dalam Yuli Indrawati, ed, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, (Bandung: Mujahid Press,2014), hlm.15–18

[13] Indonesia, Undang-Undang Keuangan Negara, UU â„–17 Tahun 2003, LN â„–47 Tahun 2003, TLN â„–4286, Ps.1 angka 10.

[14] Sahya Anggara, Administrasi Keuangan Negara, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm.14.

[15]Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: … g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, Indonesia, Undang-Undang Keuangan Negara, Ps. 2 hurug g

[16] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah,(Jakarta: BP FH UI, 2011), hlm.370.

[17] Dian Puji N. Simatupang, Formalisme Paradoks Kekayaan BUMN, dalam Yuli Indrawati, ed, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, hlm.377.

[18] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik, (Jakarta: BP FH UI, 2005), hlm.116.

[19] [19] Arifin P. Soeria Atmadja, “Teori Dasar Hukum Keuangan Publik dan Konsepsi Badan Hukum,” dalam Yuli Indrawati, ed, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, hlm.18.

[20]Indonesia, Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Ps.156 ayat (2) &Ps.158 ayat (6).

[21] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik, hlm.117.

[22] Arifin P. Soeria Atmadja, “Teori Dasar Hukum Keuangan Publik dan Konsepsi Badan Hukum,” dalam Yuli Indrawati, ed, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, hlm.18–19.

[23] Yuli Indrawati, “Implikasi Regulasi Keuangan Negara Bagi Pengelolaan Keuangan Otoritas Jasa Keuangan,” Jurnal Rechtsvinding Vol.5 â„–2 (Agustus, 2016), hlm. 204.

[24] Unsur-unsur tersebut antara lain, mempunyai pemisahaan kekayaan; memiliki tujuan tertentu; memiliki kepentingan tertentu; dan terdapat organisasi yang teratur., Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf,, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.10.

[25] Indonesia, Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Ps157 (2).

[26] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Pengelola Investasi,Ps.37 ayat (2).

[27] Dian Puji N. Simatupang, Formalisme Paradoks Kekayaan BUMN, dalam Yuli Indrawati, ed, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, hlm.377

​

Hubungi Kami

Lembaga Kajian Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan

UI Works

Gedung Crystal of Knowledge, Lantai Mezzanine

Kampus Universitas Indonesia

Pondok Cina, Beji, Depok, Jawa Barat 16424

© 2024 oleh LKHKP.

bottom of page